Minggu, 10 Mei 2009


Biopori, Cara Sederhana Atasi Banjir

Kamir S Brata. Sumber: Kompas
Setiap tahun, Kota Jakarta mendapat jatah banjir baik karena curah hujan yang tinggi atau kiriman dari daerah penyangga seperti Depok dan Bogor. Sebagai daerah hilir, semestinya menyiapkan dan menata Ibukota harus dipenuhi dengan daerah resapan air, sehingga dalam kondisi debit air meningkat bisa terserap.
Kenyataannya, persoalan yang multikompleks akibat urbanisasi menyebabkan lahan di Jakarta hampir ditutupi oleh bangunan dan daerah kedap air, karena tertutup semen. Lahan-lahan yang semula menjadi penampungan air, kini diuruk menjadi perumahan elite. Alhasil, air tidak terserap, tetapi meluber dan menggenangi permukiman penduduk.
Di tengah ketidakpastian menangani solusi karena belum kelarnya pembangunan Kanal Banjir Timur (KBT), sedangkan ancaman banjir kian sulit diprediksi, seorang ilmuwan dari Institut Pertanian Bogor, Jawa Barat, Kamir R Brata menawarkan solusi alternatif meminimalkan dampak banjir dengan teknologi lubang serapan Biopori atau mulsa vertikal.
Berbeda dengan penemuan padi Super toy dan Blue Energy yang sempat mencoreng citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akibat tidak diuji kebenarannya secara ilmiah, penemuan Kamir sudah melalui tahapan tersebut, sehingga sangat layak ditawarkan ke publik untuk diterapkan mulai dari ruang lingkup yang paling kecil dalam skala rumah tangga.
Apalagi, teknologi yang ditawarkan sangat sederhana, tepat guna, mudah diterapkan, dan harganya sangat terjangkau, tetapi dampaknya luar biasa untuk menyelamatkan lingkungan khususnya menjaga ketersediaan air tanah dan meminimalkan dampak banjir.
Teknologi ini pada prinsipnya menahan air hujan tidak langsung mengalir ke daerah yang lebih rendah, tetapi membiarkannya terserap ke dalam tanah melalui lubang resapan tersebut. Dinamakan teknologi biopori, karena mengandalkan jasa hewan-hewan tanah seperti cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah, dengan bantuan sampah organik, sehingga air bisa terserap, sehingga memperbaiki struktur tanah.
“Cara ini di samping membantu mengatasi masalah sampah perkotaan, juga diharapkan menjadi solusi mengatasi banjir yang selalu melanda Jakarta,” kata Kamir saat menyampaikan penemuannya itu beberapa waktu lalu.
Di kawasan perumahan yang hampir semua lahannya kedap air, teknologi lubang serapan biopori ini diterapkan dengan membuat lubang di saluran air ataupun di areal yang sudah telanjur diperkeras dengan semen dengan alat bor. Selanjutnya, sampah organik berupa daun atau ranting kering serta sampah tumah tangga dimasukkan ke dalam lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm hingga maksimal satu meter. Sampah organik, berfungsi membantu kehidupan cacing tanah dan rayap yang nantinya akan membuat biopori.
Di saluran air, lubang serapan ini bisa dibuat setiap satu meter dan di ujung saluran dibuat bendungan sehingga air tidak lagi mengalir ke hilir, namun diserap sebanyak-banyaknya ke dalam lubang. “Jangan khawatir sampah organik akan meluap, karena air akan begitu cepat terserap ke dalam lubang. Lubang yang diisi sampah juga tidak akan menimbulkan bau busuk, karena terjadi proses pembusukan secara organik,” katanya.
Selain di lahan perumahan kedap air, teknologi ini juga bisa diterapkan di rumah-rumah yang memiliki lahan terbuka seperti di dekat pohon. Demikian juga di persawahan lahan miring, sebaiknya ditanami dengan padi gogo yang tidak membutuhkan banyak air.
Selain menjaga ketersediaan air tanah, biopori juga menyelamatkan lingkungan dari kepungan sampah. Sampah-sampah rumah tangga yang selam ini langsung dibuang ke tempat pembuangan sampah (TPS), dengan teknologi ini memaksa masyarakat mengurai dan memasukkan sampah organik ke lubang tersebut.
Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam menerapkan teknologi ini sangat sederhana seperti bor tanah, cangkul, golok, palu, pahat, ember, gayung, bambu, pipa, dan sendok semen. Bor berfungsi untuk melubangi bidang tanah sekaligus mengangkat tanah hasil galian. Bor juga bisa digunakan untuk memasukkan kompos dalam lubang. Bor tanah terbuat dari besi yang didesain khusus. Di sepanjang bor ada alat ukur angka satuan sentimeter untuk mengetahui kedalaman lubang.
Mata bor dibuat dari lempengan besi tipis yang dibuat oval meruncing pada bagian ujungnya. Dengan desain seperti ini, bor bisa menembus tanah yang keras sekalipun. Panjang bor sekitar 120 sentimeter. Sementara di bagian pangkal dibuat pegangan, sehingga memudahkan dalam penggunaan. Bor tanah bisa dibeli di toko dengan kisaran harga Rp 175.000-Rp 250.000.
Cangkul digunakan untuk membersihkan permukaan tanah. Pahat dan palu digunakan untuk membongkar lapisan semen pada permukaan tanah yang disemen. Bahan yang digunakan untuk membuat lubang berupa semen, pasir, batu hias, air, dan sampah organik. Semen dan pasir digunakan untuk memperhalus permukaan lubang. Batu hias atau pecahan keramik berfungsi sebagai pemanis. Air untuk melunakkan tanah dan sampah organik digunakan untuk pengisinya.
Lubang resapan biopori (LRB) yang telah dibor selanjutnya pada sekeliling permukaan mulut lubangnya diberi semen agar kuat, lalu dimasukan potongan pipa PVC yang telah dibungkus koran pada lubang LRB sedalam 2 sentimeter. Lalu, sisipkan adukan semen dan pasir di sekeliling pipa. Bila penguat bibir lubang sudah mengeras, cabut pipa PVS dari tempatnya. Selanjutnya dorong kertas koran ke dalam lubang menggunakan jari tangan. Setelah lubang LRB siap, masukkan sampah organik ke dalam lubang sampai penuh.
Untuk memasukkan sampah lebih dalam bisa menggunakan bambu untuk mendorong ke dalam lubang. Pengisian sampah jangan terlalu padat agar tidak mengurangi jumlah oksigen di dalam tanah. Agar tidak membahayakan, lubang ditutup dengan besi beton atau alat penutup lain yang bisa dilalui air dan kuat menahan beban jika terinjak.
Dengan melihat uraian teknologi biopori yang mudah dan tepat guna, maka selayaknya pemerintah memberi apresiasi pada penemunya berupa penghargaan. Kendati demikian, penghargaan yang tidak ternilai jika pemerintah lebih gencar menyosialisasikan ke masyarakat.
Alasan keterbatasan anggaran kurang tepat, karena terbukti proyek triliunan untuk membangun bendungan justru menuai banyak masalah, karena dugaan praktik-praktik kurang terpuji dalam pembebasan lahan. Pemerintah seharusnya lebih arif dengan mendorong hasil penemuan yang murah dan tepat guna, ketimbang mendorong proyek-proyek mercusuar yang sarat dengan dugaan penyalahgunaan uang negara. Teknologi biopori salah satu solusi alternatif terkesan masih diabaikan, karena biayanya murah. [SP/Budi TP]
Sumber: Suara Pembaruan - 17 September 2008

Rabu, 06 Mei 2009

Cinta Birahi Antasari

Antasari Azhar memang tokoh fenomenal. Kali pertama duduk sebagai pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ia diragukan. Tapi ternyata berhasil gilang-gemilang. Kini ketika sudah di pucuk langit tiba-tiba jatuh ke dasar jurang. Hancur nama dan karirnya. Dia disangka menjadi aktor intelektual dari pembunuhan Nasrudin, lelaki yang diduga rivalnya dalam berebut cinta dengan Rhani Juliani.

ADVERTISEMENT

Kasus ini bak panah Pasopati. Diluncurkan satu berkembang menjadi ribuan asumsi. Tiap asumsi melahirkan ribuan tafsir. Dan saban tafsir ditafsir ulang para penafsir berdasar strata sosial. Kita tidak ke sana. Kita simpel-simpel saja sambil menunggu proses hukum berjalan. Itu agar tidak ikut terperosok dalam kubangan pendapat yang sudah penuh polutan.

Lepas Antasari salah atau tidak terbukti, tapi cinta yang menjadi pangkal kejatuhan. Cinta terhadap lawan jenis sebagai ranjau penghadang. Cinta ini memang ‘seteru purba’ laki-laki. Itu bisa dirunut dari tragedi Habil dan Qobil, Julius Caesar-Cleopatra, Napoleon Bonaparte dan Josephine, Bill Clinton dengan Monica Lewinski, sampai Yahya Zaini-Maria Eva, Max Moein-Desi, Al Amin-Eifel dan kini Antasari-Rhani. Semua berlatar cinta. Cinta birahi.

Cinta ini diskenario atau bukan selalu punya hulu ledak yang ampuh. Yang penampil punya rumus ‘gumuk manukan’ demi karir dan popularitas. Pakem primbon ledek itu mensyaratkan penyerahkan keperawanan bagi maesenas potensial. Dia tidak tabu jadi gundik. Dan rata-rata punya amalan yang dirapal saat ritus seks agar sang lelaki mana saja yang mengencani lengket kayak prangko.

Matahari, agen spionase berdarah Jawa-Belanda juga mengumpan tubuhnya untuk mengorek informasi. Itu demi tugas yang disandang sebagai agen rahasia. Sedang untuk kepentingan bisnis seks, Hartono yang dulu ‘juragan ayam’ mewajibkan ‘ayam-ayamnya’ mempelajari teori senggama kala pagi sebelum praktek. Mereka menyimak seksama video porno, dan menyimpan di mimetiknya kelemahan laki-laki.

Eksplorasi total kelebihan genital itu letak kekuatan di balik kelemahan wanita. Wani ditata, berani ditata, diatur laki-laki. Tidak terbayangkan lagi powernya kalau dia jadi perempuan. Keliaran berpadu dengan kecerdasan dan kebebasan berekspresi, maka hampir pasti laki-laki mana saja klepek-klepek dibuatnya.

Kekuatan dan kelemahan perempuan memang kodrat. Sama dengan laki-laki. Untuk itu agama dan hukum mengaturnya agar harmonis, tidak barbar dan chaostis. Maka ketika Nasrudin terbunuh dengan luka tembak bermotif wanita, maka kita seperti dibawa ke zaman baheula. Zaman sebelum kenal peradaban.

Kita makin tak habis pikir tatkala tersangka pembunuhan itu diduga ‘diotaki’ Sigid Haryo Wibisono bos Harian Merdeka, mantan Kapolres Williardi Wizar dan Antasari Azhar. Itu pula yang menyulut beragam spekulasi. Ada yang menebak ‘orang-orang besar’ itu dijebak atau masih tersembunyi lagi ‘orang yang lebih besar’ yang mendalangi.

Motifnya memang gampang dicari dari celah-celah aktivitas serta pergaulannya. Dari persaingan bisnis hingga kompetisi jabatan yang ketat. Bisa pula melalui asumsi skenario terencana agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipandegani Antasari mandeg kiprahnya.

Sejauh dari pemberitaan yang gencar, rasanya motif itu gampang tanggal. Indikasi yang mengarah kesana amat lemah. Justru dari hari ke hari kesan keterlibatan ‘orang-orang besar’ itu semakin mengental. Memang mereka bukan eksekutornya. Tapi bukti materiil menguatkan keterlibatannya.

Jika hukum kelak mampu menyibak di balik keremangan kasus ini, maka dengan segala rasa sakit dalam dada, kita wajib memberikan apresiasi. Itu sebagai sinyal hukum di negeri ini mulai tegak. Tidak pandang teman, tidak pandang institusi, dan tidak pandang jabatan. Sebab kita tahu bagaimana kedekatan Sigid Haryo Wibisono dengan penyidik, juga Williardi Wizar mantan Kapolres Jakarta Selatan serta Antasari Azhar.

Memang sulit kita menerima ‘kenyataan’ ini. Itu karena hati kita sudah lama terstimulasi untuk memberi hormat. Laku dan tindak mereka sangat baik dan terpuji. Malah sedang tumbuh keyakinan di batin ini, bahwa tokoh-tokoh yang siap jadi martir bagi perbaikan negeri ini mulai bermunculan untuk membawa Indonesia ke gerbang yang dicita-citakan.

Adakah mereka memang melakukan perbuatan barbarik itu? Ini yang sedang kita tunggu sama-sama!


* Djoko Suud Sukahar: pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.